Hijab dari Aroma Kasih yang Menyusut Diam-diam: Erosi Makna dalam Pusaran Modernitas
Hijab, bagi banyak Muslimah, bukan sekadar selembar kain penutup kepala. Ia adalah identitas, simbol ketaatan, ekspresi kebebasan memilih, dan perwujudan nilai-nilai agama yang mendalam. Namun, di tengah arus modernitas yang deras, makna hijab terkadang mengalami erosi halus, menyusut diam-diam di balik gemerlap tren dan tuntutan zaman. Artikel ini akan menelusuri bagaimana "aroma kasih" yang seharusnya menyertai hijab – yaitu cinta kepada Allah, rasa malu, dan keinginan untuk menjaga diri – dapat memudar, meninggalkan kesan dangkal dan bahkan kontradiktif.
Hijab: Lebih dari Sekadar Fashion
Sebelum membahas erosi makna, penting untuk memahami esensi hijab yang sesungguhnya. Dalam Islam, hijab diperintahkan sebagai bentuk penjagaan diri (iffah) dan kesopanan (haya’). Ia adalah manifestasi dari rasa malu seorang Muslimah di hadapan Allah dan sesama manusia. Lebih dari itu, hijab adalah pilihan sadar untuk menolak objektifikasi dan komodifikasi tubuh perempuan, serta menegaskan bahwa nilai seorang wanita tidak terletak pada penampilan fisik semata.
Hijab yang ideal adalah yang memenuhi kriteria syar’i: menutup aurat (seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan), longgar tidak membentuk lekuk tubuh, tidak transparan, dan tidak menyerupai pakaian laki-laki. Lebih dari sekadar memenuhi standar fisik, hijab yang hakiki juga tercermin dalam perilaku, tutur kata, dan akhlak yang mulia. Ia adalah kesatuan antara penampilan lahiriah dan batiniah.
Ketika Aroma Kasih Mulai Menyusut
Namun, realitas seringkali tidak seindah idealnya. Di era media sosial dan budaya populer, hijab seringkali mengalami distorsi makna. Beberapa fenomena yang menunjukkan erosi "aroma kasih" dalam berhijab antara lain:
-
Hijab sebagai Tren Mode: Industri fashion telah berhasil mengkomersialkan hijab, menjadikannya bagian dari tren yang terus berubah. Muncul berbagai model hijab yang rumit, glamor, dan seringkali tidak memenuhi kriteria syar’i. Fokus bergeser dari niat karena Allah menjadi keinginan untuk tampil modis dan menarik perhatian. Hijab menjadi sekadar aksesori pelengkap penampilan, bukan lagi ekspresi ketaatan.
-
Hijab Instan Tanpa Ilmu: Kemudahan mendapatkan informasi di era digital seharusnya memudahkan Muslimah untuk belajar tentang hijab yang benar. Namun, banyak yang terjebak dalam "hijab instan" – memakai hijab tanpa memahami makna, tujuan, dan adab-adabnya. Mereka mungkin menutupi kepala, tetapi tidak berusaha memperbaiki akhlak dan perilaku. Ilmu tentang hijab menjadi terabaikan, digantikan oleh ikut-ikutan tren semata.
-
Kontradiksi dalam Berperilaku: Fenomena ini sangat memprihatinkan. Seorang Muslimah mungkin mengenakan hijab yang modis, tetapi perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai Islam. Ia mungkin bergaul bebas dengan lawan jenis, mengumbar aurat di media sosial (misalnya, foto selfie dengan pose berlebihan), atau terlibat dalam perbuatan dosa lainnya. Ada ketidaksesuaian antara penampilan luar dan batin, menunjukkan bahwa hijab belum meresap ke dalam hati dan jiwa.
-
Tekanan Sosial dan Keluarga: Tidak semua Muslimah berhijab atas dasar kesadaran pribadi. Beberapa mungkin berhijab karena tekanan dari keluarga, lingkungan, atau tradisi. Dalam kasus seperti ini, hijab seringkali menjadi beban dan tidak dihayati dengan sepenuh hati. Mereka mungkin merasa terpaksa dan tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri.
-
Hijab sebagai Alat Pencitraan: Di era politik identitas, hijab terkadang digunakan sebagai alat untuk meraih popularitas atau dukungan politik. Para politisi atau tokoh publik mungkin mengenakan hijab untuk menarik simpati umat Islam, tanpa benar-benar menghayati nilai-nilai agama. Hal ini merusak citra hijab dan menjadikannya komoditas politik yang murahan.
Dampak Erosi Makna Hijab
Erosi makna hijab memiliki dampak negatif, baik bagi individu maupun masyarakat. Beberapa dampak tersebut antara lain:
-
Menurunnya Kepercayaan Masyarakat: Ketika hijab hanya menjadi formalitas tanpa diiringi dengan akhlak yang baik, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap Muslimah yang berhijab. Mereka akan dianggap munafik atau tidak tulus dalam beragama.
-
Merendahkan Nilai Hijab: Hijab yang seharusnya menjadi simbol kemuliaan dan kehormatan, menjadi kehilangan nilainya ketika hanya dijadikan tren mode atau alat pencitraan. Masyarakat akan memandang hijab sebagai sesuatu yang dangkal dan tidak bermakna.
-
Melahirkan Generasi yang Salah Paham: Generasi muda akan tumbuh dengan pemahaman yang keliru tentang hijab. Mereka akan menganggap hijab hanya sebagai pakaian biasa, bukan sebagai kewajiban agama yang sakral.
-
Meningkatnya Islamofobia: Ketika hijab dikaitkan dengan perilaku negatif atau tindakan terorisme, hal ini dapat memicu Islamofobia dan diskriminasi terhadap Muslimah.
Menghidupkan Kembali Aroma Kasih
Untuk mengatasi erosi makna hijab, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak:
-
Edukasi yang Komprehensif: Pendidikan tentang hijab harus diberikan secara komprehensif, mencakup aspek fiqih (hukum), akhlak, sejarah, dan filosofi. Muslimah perlu memahami mengapa hijab diperintahkan, bagaimana cara berhijab yang benar, dan bagaimana mengamalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
-
Teladan yang Baik: Para ulama, tokoh masyarakat, dan influencer Muslimah perlu memberikan teladan yang baik dalam berhijab. Mereka harus menunjukkan bahwa hijab bukan hanya tentang penampilan luar, tetapi juga tentang akhlak dan perilaku yang mulia.
-
Kritik yang Konstruktif: Masyarakat perlu memberikan kritik yang konstruktif terhadap fenomena hijab yang menyimpang. Kritik harus disampaikan dengan cara yang santun dan bijaksana, bukan dengan menghakimi atau merendahkan.
-
Dukungan Psikologis dan Sosial: Muslimah yang berhijab karena tekanan sosial atau keluarga perlu mendapatkan dukungan psikologis dan sosial. Mereka harus diberikan kebebasan untuk memilih dan mengekspresikan diri, serta didampingi dalam proses pencarian jati diri.
-
Literasi Media yang Kritis: Muslimah perlu memiliki literasi media yang kritis, agar tidak mudah terpengaruh oleh tren mode dan informasi yang menyesatkan tentang hijab. Mereka harus mampu memilah dan memilih informasi yang bermanfaat dan sesuai dengan ajaran Islam.
Kesimpulan
Hijab adalah amanah yang agung. Ia adalah simbol ketaatan, kehormatan, dan identitas seorang Muslimah. Jangan biarkan "aroma kasih" yang menyertai hijab menyusut diam-diam di balik gemerlap modernitas. Mari kita jaga kesucian hijab dengan ilmu, akhlak, dan niat yang tulus karena Allah semata. Dengan begitu, hijab akan tetap menjadi perhiasan yang indah dan memancarkan cahaya kebaikan bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Hijab bukan hanya tentang apa yang kita kenakan, tetapi tentang siapa diri kita sebenarnya di hadapan Allah dan sesama manusia.